Bullying telah banyak terjadi pada anak-anak di sekolah, di masyarakat, bahkan di dunia maya hingga saat ini.
Penindasan digambarkan sebagai “tindakan kekerasan dan disengaja yang berulang terhadap korban, di mana ada ketidakseimbangan kekuatan yang nyata atau dirasakan, dan korban merasa tidak berdaya dan tidak mampu membela diri,” menurut situs web PBB.

Penting untuk diingat bahwa siapa pun bisa menjadi korban bullying. Namun, ada beberapa hal yang bisa kita semua lakukan untuk mencegah anak menjadi korban bullying.

Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk fisik, verbal, dan yang terbaru, cyberbullying.

Bullying dapat membuat korban depresi, yang dapat menyebabkan bunuh diri dalam beberapa situasi.

Akibatnya, keluarga dan lingkungan memainkan peran penting dalam pencegahan.

Menurut Ayoe Sutomo, M.Psi, psikolog di Jasa Psikologi Citra Ardhita, ada berbagai hal yang bisa dilakukan orang tua kepada anaknya untuk mencegah terjadinya bullying, antara lain:

1. Kembangkan citra diri yang positif

Menurut Ayoe, konsep diri adalah bagaimana anak-anak melihat diri mereka sendiri, dan mereka harus diajarkan untuk memiliki pandangan diri yang positif.

Menciptakan lingkungan yang mendukung dalam keluarga dapat membantu membentuk citra diri yang positif. Misalnya, jangan sering-sering menyalahkan anak karena hal ini dapat merusak harga diri mereka.

“’Kamu tidak bisa melakukan apa-apa, kamu tidak bisa melakukan apa-apa,’ misalnya. Ungkapannya kecil, tetapi jika diulang berkali-kali, gagasan anak menjadi yakin bahwa dia tidak dapat mencapai apa pun” katanya

Setiap anak memiliki kekurangan, tetapi mereka semua juga memiliki kelebihan. Membantu anak dalam mengidentifikasi dan menggali kelebihannya sehingga memiliki persepsi positif terhadap dirinya, lebih percaya diri, dan dapat mengatasi lingkungan sekitarnya dengan baik.

2. Mendorong minat dan kemampuan anak.

Hal ini dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri pada anak dan membuatnya merasa kompeten dalam profesinya.

Akibatnya, ketika seorang anak diintimidasi dan ditolak oleh sekelompok teman sebaya, dia tidak menganggapnya sebagai masalah dan dapat bergaul dengan teman-temannya yang lain.

3. Ajari anak bagaimana mengatakan tidak.

Korban intimidasi seringkali tidak berdaya, dan mereka tidak mampu menahan perilaku kejam. Untuk menghindari hal ini, orang tua dapat mendidik anak-anaknya untuk mengatakan “tidak”.

“Dengan begitu, kalau dia dilecehkan, dia bisa bilang tidak suka,” jelas Ayoe.

4. Dukungan yang tak tergoyahkan

Orang tua juga harus terus menggarisbawahi kepada anak-anaknya bahwa mereka akan selalu mendukung mereka, apapun keadaannya.

Buat anak-anak merasa nyaman sehingga mereka dapat mengungkapkan keprihatinan mereka tentang kesulitan yang mereka hadapi di luar. Sehingga ketika anak dihadapkan pada suatu keadaan, mereka tahu bahwa mereka akan selalu mendapat dukungan dan penerimaan dari orang tuanya.

5. Jauhkan anak-anak muda dari menjadi penjahat.

Korban bullying seringkali menjadi pelaku bullying, menurut Ayoe. Akibatnya, hal terpenting yang harus dilakukan adalah mencegah anak-anak menjadi pelaku bullying.

Kuncinya adalah membantu anak mengembangkan konsep diri yang positif. Tanamkan dalam diri mereka keyakinan bahwa mereka dapat mencapai kebesaran tanpa merendahkan diri sendiri atau orang lain.

“Itu juga dibuat di rumah,” jelasnya, “karena diterima dan senang secara emosional membuat anak muda merasa cukup dan terpenuhi sehingga dia tidak perlu merendahkan orang lain untuk menjadi lebih besar.”

6. Kembangkan empati

Anak-anak dengan rasa empati yang kuat cenderung tidak menjadi pengganggu. Ayoe merekomendasikan agar orang tua membawa anak-anak mereka untuk melihat mereka yang hidup dalam keadaan yang lebih menantang dan meminta mereka untuk berbagi.

Dorong anak untuk angkat bicara jika mereka berada dalam situasi seseorang yang sedang berjuang.

Dalam kasus bullying, misalnya. Buat anak Anda membayangkan diri mereka sebagai korban intimidasi dan tanyakan bagaimana perasaan mereka jika mereka berada dalam situasi itu.

“Hal-hal seperti itu dimunculkan dari anak muda agar anak bisa mengembangkan empati.” Jadi ketika dia ingin mencapai sesuatu, dia mengikuti aturan sederhana: “Oh, tentu saja, jika saya mendigitalkan, saya juga tidak mau,” jelasnya.

Empati tidak berkembang dalam semalam. Empati harus secara konsisten ditanamkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Dibutuhkan lebih dari satu atau dua hari untuk membentuknya, tapi tidak ada kata terlambat,” kata Ayoe.






Leave a Reply